Senin, 13 Juli 2015

Islamic Radicalists Assaulted Ahmadiyya Indonesia Centre in 2005

Islamic Radicalists Assaulted Ahmadiyya Indonesia Centre in 2005


Islamic radicalist in number of thousand assaulted Ahmadiyya Indonesia markaz in Bogor, Indonesia in 2005 and tried to occupied our mosque and markaz. In their attempt to take over our assets, a leader among them came into our mosque and police were along with him and his fellowship instead of protecting our property and ahmadies. Wearing his shoes the cleric came inside to sweep and to know our forces in defending our mosque. Hundreds khudams hid on the first floor that he couldn't reach.


Due to our refusal to leave the mosque, police forced ahmadi to go out from mosque and said for our safety the police evacuated us. On our ways to police headquarter, I was in one of police trucks which brought Ahmadies. I and my friend were only lajnas in the truck. our trucks passed the crowded of thousand ppl threw stones towards us. The truck was covered by sheeting materials that were easily penetrated by the thrown stones. The Ahmadi men in the car tried to protect us from the stones but still a big stone hit my head n left injured. When we arrived at police headquarter, I asked a policewoman to treat me but she refuse and inspite of helping she ordered all of us to give our identity cards.

PARUNG DISERANG Part I - 2005

PARUNG DISERANG

Nama saya Iin Qurrotul Ain. Terlahir sebagai seorang keturunan Ahmadi di Bogor, Jawa Barat. Sebagai anak tertua dari seorang saudara laki-laki dan dua saudara perempuan mengalami lebih banyak pengalaman ikut ayahahanda yang bekerja sebagai Mubaligh Ahmadiyah dan ibu, hanya seorang ibu rumah tangga, berpindah-pindah tempat selama 33 tahun dinas. Dari 11 tempat tugas dinas ayahanda, hanya 2 yang tidak saya kunjungi, Thailand dan Medan. 

Pendidikan Islam Ahmadiyah sudah saya dapatkan sedari kecil. Sering bertanya tentang masalah agama dan mengadakan diskusi kecil dengan ayahanda sudah terbiasa. Hampir setiap usai ayahanda berceramah dimana saya juga turut menjadi pendengarnya, beliau sering menanyakan “apa yang kamu tangkap dari ceramah ayah tadi?”
Suasana damai di rumah menjadi bagian mendarah daging hingga kemanapun pergi dan dimanapun bertemu sesuatu masalah maka saya cenderung menghindari konflik dengan siapapun. 
Mulai SMA kelas dua saya terpisah dengan ayahanda karena bertugas di Thailand. Di tahun 1994 Saya beserta adik-adik dan ibunda tinggal di perumahan mubaligh Ahmadiyah di Parung. Tak lama ayah bertugas di sana, karena terkendala bahasa hingga ayahanda berpesan pada anaknya untuk menguasai bahasa asing, termasuk bahasa Inggris. Saat ayah bertugas di Parakansalak, Sukabumi, ibunda beserta adik-adik turut serta, saya ikut dengan nenek hingga lulus SMA dan selanjutnya pindah keanggotaan Ahmadiyah Bogor dan kerap ke mesjid Ahmadiyah di sana.
Setelah lulus SMA saya mencoba masuk perguruan tinggi negeri namun memang sudah garis tangan Tuhan selalu gagal lulus UMPTN. Inilah yang membawa saya pergi kembalii ke Parung dan menjadi anggotanya. Di sana pada tahun 1995 hingga 1996 saya belajar tiga bahasa asing, Arab, Urdu dan Inggris bersama kawan-kawan saya dari seluruh Indonesia. Saat itu siswi-siswinya berjumlah 33 orang. Kami tinggal di Gedung LI (Lajnah Imaillah), Gedung wanita milik Ahmadiyah yang kembali saya tinggali setelah saya kembali lulus bersekolah di International language school di tahun 1998. Mulai saat itu Gedung LI adalah rumah bagi saya hingga tahun 2005 dimana saya bekerja sebagai staff BPLI (Badan penghubung Lajnah Imaillah) yang sekarang berubah menjadi PPLI (Pimpinan penghubung Lajnah Imaillah). 
Di sinilah mulai saya mengalami ketidak damaian bertentangan dengan damai yang selama ini menjadi bagian hidup saya. Bagaimana tidak di tahun 2005 ini Ahmadiyah Parung mengalami ancaman dan berujung persekusi serta penyegelan. Beberapa kelompok Islam garis keras melakukan intimidasi dimulai dengan penyerangan mereka ke tempat acara pengajian nasi onal atau Jalsah Salanahdi Parung. Mereka merangsek masuk ke dalam dan melukai beberapa orang yang sedang mengikuti acara kerohanian, Acara tempat mengingat Allah dan mendengarkan nasehat-nasehat Hadhrat Rosululloh saw dan Imam Mahdi as yang diperdengarkan oleh para mubaligh Ahmadiyah. Suasana mencekam, Jalsah dihentikan. 
Ibu-ibu diungsikan ke tempat yang lebih aman, di Gedung LI. Tim keamanan intern, yakni para khudam, sebutan pemuda di Ahmadiyah meminta Kami tetap di dalam, karena para perusuh sedang mengepung pula Gedung LI. Kami berdoa memohon pertolongan Allah SWT untuk keselamatan semua. Kaum ibu terpisah dari kaum Bapak. Ibu-ibu ada banyak yang menangis mencari keberadaan keluarga mereka yang terpencar karena serangan para perusuh ini. Saya yang bertugas sebagai panitia acara Jalsah Salanah saat itu turut menghimbau ibu-ibu dan anak-anak untuk terus memanjatkan doa. Saya pribadipun saat itu sudah sepenuhnya menyerahkan kepada Sang Khalik keadaan ibu, ayah dan adik-adik saya. Saya beserta khudam-khudam hanya berkonsentrasi menjaga ibu-ibu agar mereka tidak keluar dari area Gedung.
Seharian kami mengalami situasi tegang, dan saat khudam memberi sinyal maka ibu-ibupun pulang bertemu dengan keluarga mereka di Jalsah Gah lalu pulang ke rumah masing-masing dengan tetap mendapat pengawalan ketat dari pihak keamanan intern saat keluar dari Komplek Mubarak, tempat acara tersebut berlangsung. Polisi tidak terlihat saat itu terjadi, entah mereka ada di mana. Diperkirakan total jumlah peserta Jalsah saat itu 10.000 orang dari seluruh Indonesia. Korban luka kurang dari 10 orang dan terdiri dari kaum bapak semua. Cerita selanjutnya tentang mereka tidak saya ketahui.

[Video] "Kisah Maria, sang muallaf muslimah Ahmadi, masuk Islam"

Keberagaman Bukanlah Untuk Diseragamkan

Kemajemukkan suatu bangsa bukanlah halangan membentuk bangsa yang kuat dan solid. Keberagaman sebuah kebun justeru memperindah pemandangan kebun itu, keberagaman sebuah bangsa membuktikan kebesaran dan keindahan bertoleransi bangsa itu.

Bila seseorang menganggap bahwa perbedaan menjadi penyebab peregangan, ini menunjukkan kesempitan cara berpikir yang menjadikan penghalang bagi kita dalam mewujudkan bangsa besar yang disegani dunia.